Beranda | Artikel
Poligami Menurut Kalangan Non Muslim
Minggu, 4 Juli 2004

P O L I G A M I

Oleh
Abu Hafsh Usamah bin Kamal bin Abdir Razzaq

Pembahasan Pertama:
POLIGAMI MENURUT KALANGAN NON MUSLIM.

1. Poligami Menurut Yahudi.
Disebutkan dalam Taurat bahwa Nabi Sulaiman memiliki 700 isteri dari kalangan wanita merdeka dan 300 isteri dari hamba sahaya.[1]

Kita melihat penghulu kita, Ibrahim, memperisteri dua orang wanita, yaitu Sarah dan Hajar.

‘Abbas Mahmud al-‘Aqqad berkata, “Tidak ada larangan poligami di dalam Taurat dan Injil, bahkan hal itu dibolehkan dan dilakukan oleh para Nabi sendiri, sejak masa Nabi Ibrahim al-Khalil Alaihissallam hingga kelahiran Nabi ‘Isa Alaihissallam.”[2]

2. Poligami Menurut Nashara.
Injil tidak mengharamkan poligami karena ‘Isa p datang untuk menggenapkan syari’at Musa Alaihissallam. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَإِذْ قَالَ عِيسَى ابْنُ مَرْيَمَ يَا بَنِي إِسْرَائِيلَ إِنِّي رَسُولُ اللَّهِ إِلَيْكُمْ مُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ يَدَيَّ مِنَ التَّوْرَاةِ وَمُبَشِّرًا بِرَسُولٍ يَأْتِي مِنْ بَعْدِي اسْمُهُ أَحْمَدُ

“Dan (ingatlah) ketika ‘Isa putera Maryam berkata: ‘Hai Bani Israil, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu, mem-benarkan Kitab (yang turun) sebelumku, yaitu Taurat dan mem-beri kabar gembira dengan (datangnya) seorang Rasul yang akan datang sesudahku, yang namanya Ahmad (Muhammad)…’” [Ash-Shaff/61: 6].

Dalam Injil Matius terdapat perkataan Nabi ‘Isa Alaihissallam : “Janganlah kalian mengira mengenai kedatanganku untuk membatalkan ajaran para Nabi, akan tetapi aku datang untuk menyempurnakannya, karena sesungguhnya aku membawa kebenaran untuk kalian sempai hancurnya langit dan bumi dan tidak ada satu huruf atau satu titik pun dari ajaran-ajaran mereka yang dihilangkan kecuali semuanya disempurnakan.”[3]

Seandainya poligami dilarang dalam agama Kristen, niscaya larangan tersebut ada dalam Injil. Tetapi kita tidak tahu darimana mereka mendatangkan berbagai kedustaan ini. Mahasuci Rabb-ku, ini adalah kedustaan yang besar.
Sebagian dari mereka mengatakan, “Poligami -menurut pengakuan gereja- masih ada hingga abad XVII Masehi.”

Al-‘Aqqad berkata, “Bahkan sebagian sekte Kristen berpendapat tentang positifnya poligami. Pada tahun 1531, allamishraniyyun menyerukan dengan tegas bahwa orang Kristen semestinya berpoligami.”[4]

George Zaidan berkata, “Dalam agama Kristen tidak ada dalil tegas yang melarang pengikutnya untuk menikah dengan dua wanita atau lebih. Jika mereka mau, niscaya poligami itu boleh bagi mereka. Tetapi para pemimpin mereka terdahulu merasa cukup dengan satu isteri yang lebih mudah memelihara sistem kekeluargaan dan menyatukannya.”[5]

3. Poligami sebelum Islam di Lingkungan Masyarakat Arab.
Poligami dalam masyarakat Arab sebelum datangnya Islam sudah umum dan dikenal. Ghailan bin Salamah ats-Tsaqafi masuk Islam, sedangkan dia mempunyai sepuluh orang isteri di masa Jahiliyyah, lalu mereka masuk Islam bersamanya, maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkannya agar memilih empat dari mereka.[6]

Abu Dawud meriwayatkan dari al-Harits bin Qais, ia mengatakan, “Aku masuk Islam dan aku mempunyai delapan isteri, lalu aku menyebutkan hal itu kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka beliau bersabda, ‘Pilihlah empat dari mereka.’”[7]

Imam asy-Syafi’i meriwayatkan dari Naufal bin Mu’awiyah, ia mengatakan, “Aku masuk Islam dan aku memiliki lima orang isteri, lalu aku bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka beliau bersabda, ‘Ceraikan satu orang dan tahan yang empat.’”[8]

Sya’ban bin Harb mempunyai enam isteri, Shafwan bin Umayyah mempunyai enam isteri juga, dan al-Mughirah bin Syu’bah sudah menikah 70 kali.[9]

Ibnu Hisyam berkata dalam Siirahnya, “’Abdul Muththalib, kakek Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memiliki enam isteri, dan dari mereka (dia) men-dapatkan 10 anak laki-laki dan enam anak wanita.”[10]

Dengan dalil-dalil ini jelaslah bagi kita bahwa poligami bukan perkara baru dan Islam tidak membawa sesuatu yang belum dikenal oleh manusia sebelumnya mengenai perkara ini. Lalu di manakah orang-orang yang berbicara tentang Islam dan kaum muslimin mengenai hal ini, padahal itu ada di sisi mereka dalam kitab-kitab mereka? Tetapi kedengkian dan permusuhan telah membutakan mata dan hati mereka tentang apa yang ada di sisi mereka. Semua ini menodai Islam dan kaum muslimin serta menjadikan orang-orang yang menamakan diri mereka muslim ikut berbicara bersama mereka dan larut dalam pembicaraan seperti orang-orang yang larut dalam pembicaraan.

Ketika Islam melihat perkara poligami sedemikian biadab, maka ia datang untuk mengatur dan menertibkannya. Lalu menentukan setiap pria hanya bisa beristerikan maksimal empat wanita; karena Islam mengetahui kekuatan laki-laki dan kelemahan wanita di tengah-tengah dorongan syahwat dan godaan, juga di antara peradaban yang salah satu kepentingannya ialah melemahkan umat sehingga mereka melupakan identitas dan mengikuti syahwat mereka.

Mengingat setelah terjadinya peperangan di antara negeri-negeri, jumlah laki-laki berkurang dan jumlah gadis dan janda semakin banyak serta khawatir tersebarnya zina dan untuk mencegah tersebarnya bisnis prostitusi dalam masyarakat Barat, maka kita melihat solusi yang paling ideal dan cara satu-satunya untuk mengatasi fenomena ini, yaitu poligami yang dibolehkan Islam.

Pembahasan Kedua:
HIKMAH DARI POLIGAMI.

1. Berlangsungnya Perang.
Berbagai negeri menghadapi peperangan dan itu membutuhkan orang-orang yang siap membela negerinya. Dan kaum prialah yang terlibat dalam peperangan itu. Hasil dari peperangan ini, jumlah kaum pria menjadi sedikit dan kaum wanita menjadi banyak, sebagaimana dalam Perang Dunia I dan Perang Dunia II yang membinasakan jutaan laki-laki.

Hasilnya, para wanita Jerman melakukan demonstrasi untuk menuntut dibuatnya aturan tentang poligami. Pemikir Jerman (Joe Angel) mengatakan, “Seusai Perang Dunia I, pada tahun 1914-1918, diperkirakan di Perancis saja terdapat sekitar tiga juta wanita yang melebihi jumlah kaum pria.”

Karena bertambahnya jumlah kaum wanita dan berkurangnya jumlah kaum pria, maka sebagian pakar perundang-undangan mulai mengusulkan untuk menerapkan poligami.

Filosof Inggris, Spencer, mengatakan, “Jika tiba-tiba datang pada satu umat suatu keadaan yang membuat kaum prianya bangkit untuk berperang, dan tiap-tiap orang yang masih hidup hanya di-perbolehkan mempunyai satu isteri, dan banyak wanita tetap tidak memiliki suami, maka hasil dari hal itu ialah berkurangnya jumlah anak yang dilahirkan, dan itu sudah pasti.[11]

2. Untuk Memperoleh Keturunan.
Melahirkan keturunan sangatlah penting dalam kehidupan ini. Ini bukan berarti bahwa isteri yang melahirkan dapat menghalangi suami untuk menikah lebih dari seorang isteri. Tidak, sekali lagi tidak, karena banyaknya keturunan adalah kebanggaan laki-laki pada hari Kiamat, sebagaimana Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan hal itu ke-pada kita dengan sabdanya:

اَنْكِحُوْا، فَإِنِّيْ مُكَاثِرٌ بِكُمُ اْلأُمَمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ.

“Menikahlah! Sebab, sesungguhnya aku akan membangga-kan jumlah kalian di hadapan umat-umat lainnya pada hari Kiamat.”[12]

Seorang muslim sepatutnya mendambakan anak-anak shalih yang akan mendo’akannya setelah kematiannya.

3. Persentase Kaum Wanita Melebihi Kaum Pria.
Berbagai sensus menunjukkan bahwa jumlah kaum wanita melebihi jumlah kaum pria, dengan persentase empat dibanding satu. Yakni, setiap empat wanita berhadapan seorang pria. Jika kita sebagai umat muslim menganut kebiasaan masyarakat Barat dalam monogami, akan dikemanakan para wanita yang tersisa; apakah mereka akan mengembara sebagaimana yang diperbuat anak-anak wanita Eropa ataukah mereka menjual kehormatan mereka? Nabi mengabarkan kepada kita bahwa pada akhir zaman kelak jumlah kaum wanita akan bertambah.

Imam al-Bukhari meriwayatkan dari Abu Musa, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:

وَتَرَى الرَّجُلَ الْوَاحِدَ، تَتْبَعُهُ أَرْبَعُوْنَ امْرَأَةً يَلُذْنَ بِهِ، مِنْ قِلَّةِ الرِّجَالِ وَكَثْرَةِ النِّسَاءِ.

“Engkau akan melihat seorang pria diikuti oleh 40 wanita untuk bersenang-senang dengannya, karena sedikitnya jumlah kaum pria dan banyaknya jumlah kaum wanita.”[13]

4. Tabi’at Biologis Pria Berbeda dengan Wanita.
Tabi’at pria berbeda dengan wanita dalam hal susunan jasmaninya. Dengan susunan jasmani sedemikian rupa, maka masa subur pada laki-laki berlangsung hingga 70 tahun atau lebih. Sementara wanita dapat mengandung hingga usia 50 tahun. Perbedaan di antara keduanya cukup panjang, sekitar 20 tahun. Apa sikap laki-laki pada tahun-tahun tersebut ketika dia menginginkan keturunan lagi? Jika laki-laki tidak dibolehkan menikah lebih dari seorang wanita, maka dia menelantarkan sekitar separuh umur alaminya dalam umat ini, dengan menelantarkan keturunan yang merupakan tujuan perkawinan.

Penulis al-Manaar mengatakan, “Rahasia mengenai ketidak-mampuan wanita untuk menghasilkan keturunan setelah berusia 50 tahun, bahwa kekuatan wanita terus berkurang dan kelemahannya bertambah akibat mengandung, melahirkan dan menyusui. Jika usianya semakin menua, maka dia semakin lemah dan bertambah lemah. Sebagai rahmat untuknya, maka Allah tidak menjadikannya siap untuk melahirkan pada tahun tersebut.”[14]

5. Isteri Berpenyakit.
Adakalanya isteri tertimpa penyakit kronis yang tidak memungkinkan untuk menjalani kehidupan alamiahnya bersamanya. Suami dalam hal ini hanya mempunyai dua pilihan, memadunya atau menceraikannya, dan yang disebut terakhir ini tidak mencerminkan kesetiaan bagi pergaulan yang panjang. Jika dia menceraikannya, maka penyakitnya semakin bertambah dan berlipat ganda. Jadi, hidup bersamanya dan bersama isteri kedua sedangkan dia tetap dalam pemeliharaannya dan memiliki segala haknya sebagai isteri, maka itu lebih utama daripada dicerai dan diusir.

6. Mandul.
Yaitu isteri tidak dapat melahirkan, sedangkan suami meng-inginkan keturunan shalih yang akan membahagiakannya di dunia dan akhiratnya. Maka, dia tidak mempunyai pilihan lain selian dua hal: menikah dengan isteri kedua yang akan melahirkan untuknya anak-anak yang akan membawa namanya dan menjalankan perannya dalam kehidupannya dan mendo’akan untuknya setelah kematian-nya, atau menceraikannya. Tidak diragukan bahwa memadunya adalah lebih utama dan lebih mulia daripada menceraikannya. Jika dia telah menghalangi untuk mendapatkan keturunan, maka semestinya dia tidak boleh menghalangi suaminya yang memuliakannya, menghormatinya dan menghargai kedudukannya untuk menikah lagi.

7. Daya Seksual Laki-Laki.
Daya seksual yang dimiliki laki-laki membuatnya tidak cukup dengan seorang isteri, baik karena kelemahan isteri atau ketuaannya. Wanita berbeda dengan laki-laki, karena datang kepadanya masa-masa yang melemahkan aspek seksualnya, yaitu kehamilan, nifas, haidh, sakit dan seterusnya.
Laki-laki dalam keadaan ini hanya mempunyai dua pilihan, menikah dengan isteri yang kedua sehingga naluri seksualnya ter-puaskan, atau menempuh jalan yang rusak, yaitu perzinaan.

Dalam keadaan ini di hadapan kita tidak ada banyak pilihan selain membolehkan untuknya menikah dengan wanita lainnya untuk memelihara kesucian dirinya, dan itulah yang dilakukan syari’at Islam, atau kita membiarkan ruang baginya melakukan aktifitas seksual yang diharamkan. Dan ini adalah perkara yang dipungkiri agama dan ditolak oleh akhlak.[15]

8. Senantiasa Bepergian.
Laki-laki sering bepergian, yaitu bepergian panjang (lama), dan dia tidak dapat membawa isterinya setiap kali melakukan perjalanan, dan dia tidak mampu bersabar dalam perjalanannya ini tanpa isterinya. Jadi ia boleh menikah dengan isteri kedua, jika membutuhkan wanita dimasa bermukimnya dan membentenginya dari perbuatan zina. Pernikahannya dengan wanita kedua dalam perjalanannya ini adalah lebih baik daripada melampiaskan kecen-derungan seksualnya dengan cara yang haram.

Yang benar ialah sebagaimana yang dinyatakan para musuh:
Dr. Gostan Lebon mengatakan, “Prinsip mengenai peraturan poligami bangsa Timur adalah peraturan yang baik, yang dapat mengangkat taraf akhlak di tengah umat yang kita diami, mem-berikan kepada wanita suatu penghormatan dan kebahagiaan yang Anda tidak pernah melihatnya di Eropa.”[16]

Filosof Jerman mengatakan, “Undang-undang pernikahan di Eropa adalah rusak, landasannya rusak, dengan menyamaratakan wanita dengan pria. Sebab bila kita membatasi dengan seorang isteri, maka kita kehilangan separuh hak-hak kita, dan kewajiban kita berlipat ganda terhadapnya. Selama undang-undang tersebut memperbolehkan untuk wanita hak-hak seperti laki-laki, maka semestinya juga memberikan kepadanya akal seperti akal laki-laki.”[17]

Sebuah surat kabar, 20/4/1901, menukil dari koran London, sebuah tulisan seorang tokoh wanita Inggris yang mengatakan, “Gadis-gadis kita yang tersesat jalan sangatlah banyak, dan bencana merajalela, tetapi sedikit sekali orang-orang yang membahas penyebabnya. Sebagai wanita, ketika aku melihat wanita-wanita tersebut, hatiku tercabik-cabik karena kasihan terhadap mereka dan bersedih. Apakah mungkin kesedihanku akan berguna bagi mereka, meskipun semua manusia ikut serta dalam kesedihanku? Tidak ada gunanya, kecuali tindakan yang dapat mencegah keadaan yang menyedihkan ini.

Seorang pakar (Thomas) telah melihat penyakit (yang buruk) ini dan memberikan resep obat yang sempurna untuk penyembuhannya, yaitu membolehkan bagi pria menikah lebih dari satu. Dengan cara inilah bencana akan lenyap, itu sudah pasti, dan anak-anak wanita kita akan tinggal di rumah. Bencana terbesar terletak pada pemaksaan terhadap pria Eropa supaya mencukupkan dengan satu isteri.

Kemudian dia melanjutkan bahwa pembatasan (menikah) dengan satu isteri itulah yang menyebabkan puteri-puteri kita ter-sesat jalan, dan melemparkan mereka untuk mencari kelengahan laki-laki. Keburukan pasti akan merajalela jika seorang pria tidak dibolehkan menikah lebih dari satu.”[18]

Ibnu Dunaih berkata, “Gagasan monogami adalah gagasan yang dianut oleh Kristen secara kasad mata, namun di balik itu mengandung berbagai keburukan yang terlihat secara khusus dalam tiga hasil nyata yang sangat berbahaya lagi sangat besar bencananya, yaitu wanita akan menjadi pelacur dan menjadi perawan tua, serta anak-anak terlahir secara tidak sah.”[19]

Secara ringkas, kita dapat merangkum hikmah dari poligami dalam point-point berikut ini:

1. Isteri mandul.
2. Isteri sakit.
3. Adanya perselisihan di antara suami isteri. Sebagai pemecahannya, suami menceraikannya atau memadunya, sehingga isteri dan anak-anaknya tidak tersesat jalan.
4. Isteri berhenti melahirkan anak, padahal suami membutuhkan anak-anak.
5. Daya seksual laki-laki, disertai catatan mengenai apa yang dialami isteri berupa haidh, hamil, nifas dan selainnya.
6. Jumlah wanita sangat banyak dan melebihi persentase laki-laki.
7. Kembalinya wanita yang dicerai kepada suaminya terdahulu setelah dia menikah lagi.
8. Solusi permasalahan janda, wanita yang dicerai, dan gadis-gadis yang terlambat menikah. Dia hidup bersama suami yang mempunyai lebih dari seorang isteri adalah jauh lebih baik dibandingkan tetap sendirian tanpa seorang suami.
9. Memperbanyak keturunan.
10. Memperbanyak jumlah umat.
11. Menjaga kesucian diri para isteri.
12. Banyak melakukan perjalanan.
13. Disyari’atkannya berjihad.

[Disalin dari kitab Isyratun Nisaa Minal Alif Ilal Yaa, Penulis Abu Hafsh Usamah bin Kamal bin Abdir Razzaq. Edisi Indonesia Panduan Lengkap Nikah Dari A Sampai Z, Penerjemah Ahmad Saikhu, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir – Bogor]
_______
Footnote
[1]. Al-Mar-ah bainal Fiqh wal Qanuun. Dr. Mushthafa as-Siba’i (hal. 71), dan lihat Fat-hul Baari.
[2]. Penulis buku Limaadzal Hujuum ‘alaa Ta’addud az-Zaujaat (hal. 11-12), menisbatkannya kepada buku Haqaa-iq wa Abaathil Khushuumah, al-‘Aqqad (hal. 237).
[3]. Al-Ish-haahul Khaamis (hal. 67).
[4]. Al-Mar-ah fil Qur-aanil Kariim, menukil dari Limaadzal Hujuum ‘alaa Ta’addud az-Zaujaat.
[5]. Ibid.
[6]. HR. At-Tirmidzi (no. 1128) kitab an-Nikaah, Ibnu Majah (no. 1953) kitab an-Nikaah, Ahmad (no. 4617), Malik (no. 1071) kitab ath-Thalaaq, dan hadits ini menurut beliau mursal.
[7]. HR. Abu Dawud (no. 2241) kitab ath-Thalaaq, Ibnu Majah (no. 1953), kitab an-Nikaah.
[8]. HR. Asy-Syafi’i.
[9]. Dinisbatkan penulis buku Limaadzal Hujuum ‘alaa Ta’addud az-Zaujaat kepada buku Majma’ul Amtsaal, karya al-Haidan (I/35).
[10]. Siirah Ibni Hisyam (I/191).
[11]. Limaadzal Hujuum ‘alaa Ta’addud az-Zaujaat (hal. 23).
[12]. HR. Ibnu Majah (no. 1863) kitab an-Nikaah, dan di dalamnya terdapat Thalhah bin ‘Amr bin ‘Utsman, dan dia adalah matruk.
[13]. HR. Al-Bukhari (no. 5231) kitab an-Nikaah, at-Tirmidzi (no. 2205) kitab al-Fitan, Ibnu Majah (no. 4045) kitab al-Fitan, Ahmad (no. 11533).
[14]. Tafsiir al-Manaar (IV/352).
[15]. Al-Mar-ah bainal Fiqh wal Qanuun, Dr. Mushthafa as-Siba’i (hal. 86), yang dinukil dari Limaadzal Hujuum ‘alaa Ta’addud az-Zaujaat (hal. 28).
[16]. Limaadzal Hujuum ‘alaa Ta’addud az-Zaujaat (hal. 28).
[17]. Limaadzal Hujuum ‘alaa Ta’addud az-Zaujaat (hal. 29-31).
[18]. Ibid.
[19]. Limaadzaa al-Hujuum ‘alaa Ta’addud az-Zaujaat (hal. 32).


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/881-poligami-menurut-kalangan-non-muslim-hikmah-dari-poligami.html